KUTBAH IDUL ADHA 1434 H
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik
Komplek Perumahan Gresik Permai Suci
Selasa, 16 Oktober 2013 M/10 Zulhijah 1434 H.
Dr. H. Sriyatin Shodiq, S.H.,M.A.
MAKNA SIMBOL PAKAIAN
IHRAM, TAWAF, DAN SAI: JATIDIRI, CINTA KASIH, DAN KEPASRAHAN KEPADA ALLAH.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله
أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة وأصيلا لا اله الا الله - والله
أكبر - الله أكبر و لله الحمد.
أحمده حمد من عرفه – وأشكره علي ادراك ذي
الحجة ويوم بركة – أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له – وأشهد أن محمدا
أرسله بالرحمة والرأفة - اللهم صل وسلم
وبارك علي محمد وعلي أله وأصحابه ومن تبع دين محمد – وسلم تسليما كثيرا.
ألله أكبر ما تحرك متحرك وارتج وكي محرم
وعج – وقصد الجرم من كل فج – وأقيمت في هذه الأيام مناسك الحج – اذا ساروا قبل
طلوع الشمس الي مني – ورموا أجمرة العقبة وقد بلغواالمني – وتقربوا الي الله
بالهدايا – وحلقوا رؤسهم وقصروا ونحروا – وحمدواالله علي تمام حجهم وشكروا أولئك
يؤتون أجرهم مرتين بما صبروا – فسبحان الله حين تمسون وحين تصبحون – سبحان ذي
الملك والملكوت – سبحان ذي العزة والجبروت – سبحان الحي الذي لايموت –
الله أكبر – فيا أيها المسلمون الكرام
أوصيكم ونسفي بتقوي الله – اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وأنتم مسلمون
واعلموا أن هذاالشهر شهر عظيم – وأن هذا
اليوم يوم عيد المؤمنين وموسم الحج المسلمين – وغفران الذنوب لمن حج واعتمر – فقد
فازمن يؤدي عبادة الحج المسلمين – والتقرب بالأضحية بذبح المواشي واستحنسوها وكلوا
وتصدقوا لحومها واستمتعوا بجلودها ولا تبيعوها – اعلموالان قصة ابراهيم خليل الله
واسماعيل عليهما السلام تضمن من الحكم . أما بعد .
Jamaah
kaum muslimin salat id yang dirahmati Allah
Pada hari ini kita kaum muslimin penuh bahagia, karena hari raya
idul adha tahun 1434 telah datang dan serempak di penjuru dunia.
Pada hari yang agung ini, kita kaum muslimin keluar dari
rumah-rumah mereka seraya memuji, mengagungkan, dan memuliakan Tuhan-Nya. Kaum
muslimin bersyukur atas nikmat Allah swt yang telah dianugerahkan kepada kita,
sehingga kita dapat melaksanakan ibadah
salat id dan menyembelih hewan kurban. Kita hanya berharap semoga
mendapatkan pahala, ganjaran, dan ridla dari Allah swt dan segala kesalahan dan
dosa kita, Allah mengampuni-Nya, dan tak lupa kita memanjatkan doa kepada Allah
semoga tahun depan kita masih diberi kesempatan untuk menjumpai bulan Zulhijah
dan idul adha.
Marilah kita sambut dengan memperkuat kesatuan dan ketakwaan kita
kepada Allah swt, karena ketakwaan itu menghimpun segala kebaikan dan merupakan
karekter yang banyak disebut di dalam al-Qur’an. Hanya ketakwaanlah
satu-satunya sarana penghubung yang kuat untuk memperoleh kebaikan di dunia dan
akhirat, baik yang bersifat lahiriyah maupun batiniyah. Ketakwaan merupakan
satu-satunya benteng yang kokoh untuk melindungi manusia dari segala ancaman
keburukan, baik lahiriyah maupun batiniyah.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
A.
MAKNA SIMBOL PAKAIAN IHRAM
ADALAH KEMBALI KEPADA JATIDIRI, KEMBALI
KEPADA ALLAH, DAN LAMBANG KEIKHLASAN
1.
Makna pertama yang
kita ambil dari memakai pakaian ihram adalah kembali kepada jatidiri
Pakaian baju ihram adalah pakaian khusus dan istimewa berwarna
putih yang digunakan selama melakukan ibadah haji dan umrah. Busana ihram untuk
jemaah laki-laki terdiri atas dua lembar
kain. Satu lembar diselendangkan di bahu menutupi badan, dan kain kedua
diikatkan di pinggang hingga menutup bagian aurat laki-laki. Sedangkan pakaian
busana ihram bagi perempuan adalah busana muslimah yang menutup seluruh tubuh
kecuali wajah dan kedua tangan. Pakaian ihram digunakan pada waktu dan tempat
tertentu yang telah ditentukan.
Sekarang pakaian tidak lagi sekadar pelindung tubuh dari
bahaya yang ditimbulkan oleh cuaca dan perubahan iklim. Pakaian bukan lagi
sekedar penutup aurat, akan tetapi, pakaian busana sekarang telah berubah
menjadi simbol status sosial, simbol kedudukan, simbol status perekonomian,
simbol status pengetahuan, dan sebagainya.
Ali Syariati menggambarkannya dengan indah:
Pakain melambangkan pola, preferensi, status, dan
berbagai perbedaan lain. Pakaian menciptakan “batas” semu yang menyebabkan
“perpecahan” di antara manusia. Dan hampir semua perpecahan di antara manusia
melahirkan “diskriminasi”. Selanjutnya, “perpecahan” itu menimbulkan konsep
“aku”. Bukan “kami” atau “kita”. Aku dipergunakan dalam konteks sosial seperti:
rasku, kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, dan bukan ‘”aku” sebagai
manusia.
Jatidiri “aku” yang sesungguhnya tidak ditentukan oleh
pakaian yang dikenakan. Busana hanyalah benda yang melekat di tubuh, yang
setiap saat bisa diganti, Jika busana yang kita kenakan dijadikan simbol
status, maka kita akan merasa berat melepaskannya. Namun, karena busana
bukanlah diri kita yang sesungguhnya, suatu saat kita harus menanggalkannya.
Ketika panggilan Allah datang, kita
tidak bisa lagi mempertahankan busana status kita. Kita harus rela
menanggalkannya, sebagaimana kita melepaskan busana harian ketika datang
panggilan haji.
Pakaian ihram itu melambangkan jatidiri kita yang
sesungguhnya, fitrah kita yang suci, warna asli batin kita saat kita dilahirkan
di dunia ini. Namun, setelah sekian lama hidup di muka bumi, warna asli kita
mulai luntur atau dikotori oleh berbagai noda duniawi.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
Iman Ghazali menggambarkan keadaan manusia dengan indah:
“Sesungguhnya dalam dirimu terhimpun banyak sifat, di antaranya sifat hewan
mamalia, hewan pemangsa, dan juga sifat malaikat. Ruh adalah jatidiri
substansimu, sementara yang lainnya asing dan pinjaman yang bukan milikmu.
Nabi Yusuf as berdialog dengan Perdana Menteri Mesir:
Nabi Yusuf berkata kepada tuan majikannya, Perdana Manteri Mesir yang
memenjarakannya, “ Kau boleh memperlakukan tubuhku sekehendak hatimu (tuan), kau
boleh mencambuk, memukul, menyiksa badan
dan punggungku sekehendak engkau mau, kau boleh mengurungku di penjara ini
selama kau mau, tetapi tuan (Perdana Manteri)
kau tidak akan bisa memiliki hatiku, hanya satu pemilik hatiku, Allah. Itulah
jatidiri hati nurani Nabi Yusuf as.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
Melepaskan busana pakaian
harian dan menggantinya dengan busana pakaian ihram berarti melepaskan sifat
yang melekat dan menumpang pada diri kita sebagai dampak interaksi kita dengan
dunia. Sifat-sifat itu di antara lain dengki, sombong, pemarah, rakus,
otoliter, zalim, dan sebagainya. Kita berupaya menanggalkan sifat-sifat buruk
itu sebagaimana kita melepaskan pakaian biasa dan menggantinya dengan pakaian
ihram. Kemudian kiat berusaha menampakkan jatidiri sejati, yang pada fitrahnya
cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Penampilan sifat-sifat baik
itu dilambangkan dengan mengenakan pakaian ihram yang berwarna putih. Jadi,
mengenakan pakaian ihram bukanlah ritual tanpa makna, tetapi banyak makna yang
terkandung di dalamnya.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
2. Makna
kedua yang kita ambil dari memakai pakaian ihram adalah kembali kepada Allah
Titik akhir adalah kembali ke titik awal (al-hidayah hiya
al-ruju’ ila al-bidayah). Itu kata kunci yang menjadi acuan kaum sufi memandang
dunia. Setiap partikel alam pasti akan kembali kepada asalnya. Yang fisikal
kembali kepada fisik, yang mineral, material kembali kepada bumi. Yang
spiritual kembali kepada spirit. Yang ruhani kembali kepada ruh. Kalau jasad
bersumber dan berasal dari tanah pasti ia akan kembali kepada tanah. Demikian
pula, kalau ruhani kita berasal dari Allah, pasti ia akan kembali kepada Allah.
Kehidupan dunia adalah amat sangat singkat dan hanya
sementara karena dunia pun akan binasa
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7Înu rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. QS. al-Rahman [55:26-27].
Suka atau tidak, kita pasti akan kembali kepada asal
kita. Persoalannya, apakah kita sudah SIAP atau TIDAK. Karena itu, kembali
kepada Allah semata-mata berkaitan dengan kesiapan kita. Orang yang sudah
“siap” adalah mereka yang telah mempersiapkan diri untuk kembali Kepada-Nya.
Mengapa harus mempersiapkan diri? Sebab, tidak semua
orang akan diterima oleh Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah itu
Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik” (H.R. Muslim). Jadi, rombongan
yang datang kepada Tuhan, kelak akan terpecah menjadi dua kelompok, Kelompok
pertama diterima, kelompok kedua ditolak. Kelompok yang baik dan kelompok yang
buruk. Antara lain dijelaskan dalam Al-Qur’an, “ashabul yamin ma ashabul
yamin” (dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu), dan “ashabus
syimal ma ashabus syimal” (dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan
kiri itu). (QS. Al-Waqiah [56: 27 dan 41).
Kelompok pertama diterima karena telah mempersiapkan diri
menjadi orang baik, tanpa pernah menyentuh
segala yang buruk.
Sementara, kelompok kedua tidak diterima, karena tidak
memedulikan baik dan buruk. Mereka tidak siap kembali kepada Allah. Kelompok
terakhir inilah yang menjadi persoalan, karena di satu sisi mereka pasti
kembali, sementara di sisi lain, mereka tidak siap kembali, akibatnya, mereka
tertolak.
Lalu, bagaimana nasib mereka setelah ditolak sementara
mereka wajib kembali? Bagi kelompok ini Tuhan sendiri yang akan mempersiapkan
“adzab”nya.
Dalam Al-Qur’an terdapat pertanyaan:
tûøïr'sù tbqç7ydõs? ÇËÏÈ
Maka akan pergi ke manakah kamu (QS. al-Takwir [81:26]
Ketika kiamat terjadi dan kebenaran telah disingkapkan,
sebagaimana disebutkan pada awal sampai pertengahan surat al-Takwir [81], ke
manakah kau akan mengelak dan mengindari keduanya? Sungguh tidak ada lagi jalan
yang bisa ditempuh kecuali “pergi kepada Allah”, dengan keadaan “siap” seperti
diucapkan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam Al-Qur’an,
tA$s%ur ÎoTÎ) ë=Ïd#s 4n<Î) În1u ÈûïÏökuy ÇÒÒÈ
Dan Ibrahim berkata: Aku akan berangkat menuju Tuhanku,
tentu Dia akan memberiku petunjuk” QS. Shaffat [37:99].
Ucapan Nabi Ibrahim a.s. itulah yang menjadi jawaban kita,
jika Tuhan bertanya kepada jemaah haji atau kepada kita:” Akan pergi ke manakah
kamu?” Selanjutnya jemaah haji atau kita menjawab seperti jawaban nabi Ibrahim:
“Aku akan berangkat menuju Tuhanku, tentu Dia akan memberi petunjuk.” Berangkat
menuju Tuhan tanpa membawa gemerlap duniawi, tanpa jabatan yang
diagung-agungkan, tanpa kemasyhuran nama, tanpa kesempurnaan fisik (cantik,
gagah, tampan), tetapi dengan bekal amal saleh yang telah disiapkan sepanjang
usia kehidupan di dunia. Saat menunaikan ibadah haji, jemaah “berangkat menuju
Tuhan” dengan dua lembar pakaian suci, pakaian ihram yang persis sama dengan
kain kafan untuk membungkus mayat kita saat menghadap Tuhan Yang Mahakuasa.
Kalau kita sudah mempersiapkan diri menempuh perjalanan
panjang kepada Allah, sudah saatnya kita tanggalkan busana duniawi warna-warni
yang kita kenakan selama ini. Saatnya kita mengenakan pakaian putih bersih
sehingga kita mendapat petunjuk Allah, dan kita kembali kepada-Nya dengan
selamat.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
3.
Makna ketiga yang
kita ambil dari memakai pakaian ihram adalah lambang keikhlasan
Inti keberagamaan adalah keikhlasan niat (ikhlash
al-niyah). Ikhlas berarti “bersih, murni, tidak bercampur”. Niat murni
semata-mata karena Allah. Perbuatan orang yang ikhlas tidak didorong oleh motif-motif
tertentu, tetapi hanya karena Allah. Kesucian dan kemurnian inilah yang
disimbolkan oleh pakaian ihram, yang berwarna putih tanpa ada warna lain yang
melekatinya. Begitulah hati orang yang berjalan menuju Tuhan. Tidak terbetik
maksud duniawi sedikit pun dalam perjalanannya. Dunia bukanlah tujuan dan
motif yang mengerakkan menempuh
perjalanan tersebut. Dunia hanyalah bekal sekadar mencukupi kebutuhan selama
menempuh perjalanan. Dunia tidak pernah mengisi relung hatinya. Sama halnya,
perjalanan jemaah haji berziarah ke Ka’bah, mendekat ke haribaan Rabb
al-Bayt (Tuhan Pemilik Rumah Suci), bukanlah untuk mendapatkan nama (gelar Haji
dan gelar Hajjah), mencari harta, mendulang pahala, atau menghindari siksa.
Mereka datang ke Mekah hanya untuk memenuhi seruan ilahi.
Keikhlasan itulah yang menjadi ukuran suatu amal. Tanpa
niat tulus, amal yang kita lakukan menjadi sia-sia. Dalam Al-Qur’an disebutkan,
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
“Mereka hanya diperintahkan menyembah Allah
dengan ikhlas beragama kepada-Nya” QS.al-Bayinah [98:5].
Amal tanpa keikhlasan laksana jasad tanpa ruh. Ikhlas
menghidupkan amal yang kita lakukan sehingga membuahkan kebaikan.
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
Dalam perjalanan haji, pakaian ihram melambangkan
keikhlasan yang seharusnya memenuhi hati setiap jemaah. Ini tidak berarti
amal-amal lain selain ibadah haji tidak dibutuhkan keikhlasan. Meski pakaian
ihram hanya dipakai untuk ibadah haji,
ruh dan makna yang terkandung pada pakaian ihram bersifat universal, meliputi
semua bentuk ibadah dan kebaikan. Semua amal ibadah yang kita lakukan harus
disertai keikhlasan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat betapa
banyak proyek pembangunan gedung, infrastruktur, jembatan, dan sebagainya yang digarap oleh pemerintah
tetapi hanya bertahan tiga sampai sepuluh tahun, namun bangunan gedung,
infrastruktur dan jembatan cepat rusak, jebol, dan ambuk. Mengapa bisa begitu?
Karena niatnya bukan karena Allah, melainkan karena uang atau memperbanyak kantong-kantong
materi individu/kelompok. Akibatnya, ketika mengerjakan proyek, mereka
mementingkan keuntungan duniawi, bukan untuk dipersembahkan kepada Allah
sebagai amal saleh yang dapat dimanfaatkan banyak orang untuk jangka waktu yang
lama.
Amal saleh yang didasari keikhlasan niat tidak pernah
akan habis atau berakhir. Amal saleh semacam itu akan terus hidup di sisi Tuhan
sehingga kita datang menjemputnya di akhirat nanti. Kelak, amal saleh itu akan
diganti menjadi pahala yang menyenangkan dan membahagiakan pemiliknya. Karena
itu, segenap amal kebaikan yang kita niatkan karena Allah tanpa embel-embel
dunia, sekecil apa pun, pasti amal itu akan tetap hidup dan akan menemui kita
di akhirat kelak.
Balasan kepada orang yang beramal ikhlas kepada Allah,
antara lain dijelaskan dalam Al-Qur’an .
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS
al-Nahl [16:97]
Allah Akbar 3x. Jemaah salat id yang
dirahmati Allah.
B.
MAKNA SIMBOL
TAWAF: sebagai miniatur gerak alam
semesta, hanya satu tujuan hidup, dan lambang cinta.
1.
Makna pertama yang
kita ambil dari tawaf adalah sebagai miniatur gerak alam semesta
Allah swt telah membuat
sistem alam yang teramat kompleks dan teratur, tidak saling mendahului dan
tidak saling menyaingi, masing-masing berjalan sesuai dengan hukumnya
(sunnatullah), sebagaimana firman Allah QS. Yasin [36:40].
w ߧôJ¤±9$# ÓÈöt7.^t !$olm; br& x8Íôè? tyJs)ø9$# wur ã@ø©9$# ß,Î/$y Í$pk¨]9$# 4 @@ä.ur Îû ;7n=sù cqßst7ó¡o
“Tidak
mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului
siang, masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Itulah sunnatullah yang
senantiasa berjalan mengatur perjalanan alam semesta. Sistem itu, sesuai dengan
kabar yang disampaikan dalam Al-Qur’an,
tidak pernah akan diganti atau diubah untuk selama-lamanya.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Dalam sistem yang sangat
kompleks ini, planet-planet, termasuk matahari dan bumi yang kita diami
berputar pada sumbunya dengan arah putaran yang berlawanan dengan arah jarum
jam. Gugusan planet dan bintang pada galaksi Bimasaksi pun berputar dengan
putaran yang melawan arah jarum jam. Bahkan, elektron pun melakukan putaran
serupa. Lebih jauh, sistem peredaran darah dalam tubuh kita pun bergerak dengan
pergerakan seperti itu. Darah bersirkulasi dari jantung ke seluruh tubuh dari
arah kiri, Jadi bisa dikatakan, aliran darah dalam tubuh pun berputar mengitari
seluruh bagian tubuh.
Itulah makna tawaf. Jadi,
alam raya seakan terus tawaf dan bertasbih kepada Penciptanya. QS. al-Isra
[17:47] “Tidak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kalian tidak mengerti tasbih mereka”.
Allah Akbar 3x.
Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
2.
Makna kedua yang kita
ambil dari tawaf adalah hanya satu tujuan hidup.
Menurut Ali Shari’ati
mengibaratkan Ka’bah yang menjadi orbit tawaf sebagai konstansi (kemantapan) keabadian
Tuhan, sementara para petawaf melambangkan aktivitas dan transisi makhluk-Nya,
yang terjadi terus menerus. Hanya satu Yang Konstan, Yang Abadi, yaitu Tuhan.
Dialah yang menjadi pusat eksistensi, titik fokus dunia yang fana ini. Selain
Tuhan, yaitu makhluk segalanya terus berubah, bergerak, dan pada suatu waktu
akan berakhir, berhenti. Ketika tawaf, para petawaf tidak pernah bersentuhan
dengan Ka’bah sebagaimana makhluk
senantiasa berjarak dari Allah.
Jadi, sistem tauhid yang
menjadi fondasi agama Islam menempatkan Tuhan sebagai acuan dan poros kehidupan
makhluk. Karena itu, kita seharusnya mengarahkan seluruh hidup kita kepada-Nya. Memang kita disibukkan
oleh berbagai profesi yang mewarnai aktivitas hidup kita, Namun, segala profesi
itu bukanlah “tujuan” hidup kita, melainkan sarana menuju tujuan akhir.
Jika kita bekerja demi
menyenangkan anak dan istri, lalu berhenti sampai di situ maka aktivitas kita
itu akan sia-sia, karena kita berhenti pada tujuan semu, yang akan berakhir.
Seiring berakhirnya tujuan kita, habis pulalah makna amal perbuatan kita. Akan
tetapi, jika amal atau aktivitas itu kita arahkan untuk mendekati Tuhan disertai ketundukan dan
kepasrahan kepada-Nya maka amal kita menjadi perbuatan yang abadi melampaui batas
sekat-sekat dunia. Kita akan merasakan hasil perbuatan kita kelak di akhirat,
sementara di dunia, anak, istri, dan keluarga kita akan mendapatkan hasil
segala aktivitas kita.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Imam Ghazali mengingatkan kepada
kita, bahwa tawaf yang kita lakukan itu
menyerupai rombongan malaikat muqarrabin (yang dekat kepada Allah) yang
bertawaf mengitari Arasy. Tetapi, jangan berpikir bahwa tawaf yang kita lakukan
hanyalah tawaf fisikal mengitari Ka’bah (Baitullah), tetapi yang lebih penting
kita pahami adalah bahwa kita sedang berjalan mendekatkan diri ke hadirat
Allah. Ka’bah (Baitullah) hanyalah simbol indrawi yang menjadi poros rotasi.
Sementara, poros rotasi batin ruhani kita adalah mendekati Tuhan atau kepada
Tuhan, Allah Yang Mahakuasa.
Perjalanan ruhani menuju
poros rotasi, Tuhan berada pada Sirr, di pusat batin manusia. Putaran-putaran
dalam tawaf melambangkan upaya seseorang untuk mendekat menuju Tuhan melalui
lapisan-lapisan batin. Semakin bertambah putaran tawaf, semakin khusyuk kita
berjalan menuju titik pusat. Perjalanan putaran tawaf ini diibaratkan oleh Imam
Al-Hujwari: sebagai upaya
sungguh-sungguh (mujahadah) mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika seseorang
melewati perjalanan itu sungguh-sungguh, ia akan semakin dekat kepada Tuhan
yang merupakan poros rotasi, sehingga ia dapat menyaksikan-Nya dengan
matahatinya (musyahadah). Semakin kuat mujahadah seseorang, semakin terang
musyahadah yang didapatkannya.
Perjalanan hidup kita adalah
tawaf panjang yang kita lalui setiap hari sepanjang usia kita. Semestinya kita
tidak pernah lupa dan lepas dari tujuan penciptaan. Tujuan hidup kita hanya
untuk mengabdi kepada Tuhan, dan Dialah
satu-satunya tujuan akhir kita, “ dari Dia kita datang dan kepada Dia
pula kita kembali” (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Kita pasrahkan
semuanya untuk Allah, “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati li-llahi
rabb al-alamin (sesungguhyanya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
adalah untuk Tuhan pemilik alam semesta). Sama halnya, ketika tawaf pun kita
tidak pernah lepas dari Ka’bah (Baitullah) yang menajdi orbit tawaf. Sebab,
apabila kita keluar dari orbit tawaf, berarti kita telah terlepas dan keluar
dari sistem. Kalau kita terlepas dan keluar dari sistem, maka tawaf kita
sia-sia (muspro).
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
3.
Makna ketiga yang
kita ambil dari tawaf adalah lambang cinta
Puncak pengabdian atau
puncak ibadah adalah cinta. Menurut
Amirul Mukminin Ali, ada tiga kelompok orang yang beribadah kepada Allah.
Kelompok pertama, orang yang
beribadah karena takut kepada-Nya. Mereka ini adalah kelompok para budak.
Mereka mengabdi kepada Allah persis seperti pengabdian seorang budak kepada
tuannya. Ia mengabdi semata-mata karena takut kepada tuannya.
Kelompok kedua, orang yang
beribadah karena mengharapkan
keuntungan. Meraka ini adalah kelompok
para pedagang, Mereka mengabdi kepada Allah persis seperti pengabdian
pedagang yang mencari untung dari
jualannya.
Kelompok ketiga, beribadah
kepada Allah karena cinta. Inilah kelompok orang merdeka, yang mengabdi kepada
Allah karena cinta kepada-Nya. Inilah puncak pengabdian. Orang yang sedang
jatuh cinta pasti akan menuruti kehendak sang kekasih, tidak peduli senang atau
susah. Karena baginya, menyenangkan kekasih adalah puncak ekspresi cinta.
Ketika yang mencintai jauh
dari yang dicintai, pastilah ia akan mendekat kepada yang dicintai. Ia akan
berputar menuju rumah kekasihnya, seperti yang terungkap pada cinta Majnun
kepada Laila, sampai-sampai cintanya Majnun kepada Laila, Majnun tubuhnya kurus
kering, hatinya remuk redam, usianya dihabiskan karena dimabuk cinta kepada
kekasihnya, sampai dibawa mati.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Mengapa laron terbang dan
terus berputar-putar di sekitar lampu? Ia terus mendekati cahaya karena
mencintainya. Ia terus berputar di sekitar lampu meskipun sayapnya hangus
terbakar oleh api yang menyala. Bahkan, tubuhnya sendiri hangus terbakar demi
cintanya kepada cahaya. Lihatlah, begitu banyak bangkai laron yang menumpuk di
sekitar lampu. Namun, mereka tidak pernah jera untuk mendekati yang dicintainya.
Mengapa bumi dan planet
berotasi dan berevolusi? Mengapa matahari berotasi? Mengapa semua semesta
berputar? Putaran adalah lambang orang yang sedang dimabuk cinta. Karena itu ahli sufi Jalaluddin Rumi mencipta
tarian putar, melambangkan orang yang sedang jatuh cinta. Mereka sedang dimabuk
cinta ketuhanan (kepada Allah) sehingga mereka berputar untuk meraihnya,
sebagaimana orang tawaf di sekeliling ka’bah. Mereka asyik, tenggelam dalam
cinta kepada Pemilik Ka’bah. Karena Tuhan tidak bisa diindra maka mereka
melampiaskan cinta kepada Ka’bah sebagai lambang ketuhanan.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
C.
MAKNA SIMBOL SAI: CINTA KASIH, KETEGARAN, DAN KEPASRAHAN.
Siti Hajar adalah budak
hitam yang kuat dan tangguh berasal dari Etiopia, kekuatan besar yang tersimpan
pada diri Hajar yang sangat sulit ditandingi oleh wanita-wanita manapun di
permukaan dunia ini, yaitu kekuatan cinta kasih, ketegaran, dan kepasrahan
kepada Allah.
Ditengah lembah yang
gersang, kering, tandus, sepi, sunyi, tidak ada tumbuhan dan buah-buahan,
diapit oleh bukit-bukit berbatu, tempat di kolong langit yang diterjang terik
matahari yang sangat menyengat. Itulah Bakkah (Mekah), pemandangan yang sangat
ganjil hanya dinaungi dan berlindung dibawah pohon sebagai tempat tinggalnya,
terlihat tiga sosok manusia teladan, seorang laki-laki bernama Ibrahim, seorang
wanita bernama Siti Hajar, dan seorang bayi kecil bernama Ismail. Tiga orang
ini datang dari tempat yang sangat jauh dan menempuh perjalanan membutuhkan
waktu berbulan-bulan dari Mesir.
Dengan tunduk, pasrah,
menjalankan perintah Allah Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya Hajar dan
putranya Ismail di lembah tersebut (Nabi Ibrahim pergi selama + 17 tahun
untuk dakwah ke Mesir, Palestina, Mesir, kemudian kembali ke Mekah lagi). Ibrahim menyakinkan kepada istrinya Hajar, “Tuhan akan melindunginya,
Dia akan menjaganya, dan kelak akan terlahir darinya bangsa yang besar dan
mulia”.
Hajar belum puas, ia seakan
ingin memastikan jawaban suaminya, “Wahai Khalilullah (kekasih Allah), apakah
ini perintah Tuhan?.
Ibrahim menjawab dengan
suara yang lembut “Aku tidak akan melakukan apa pun kecuali setelah mendapat
perintah Tuhan”. Hajar menjawab lagi
“Kalau itu perintah Tuhan wahai suamiku Ibrahim, laksanakanlah, aku rida
menerimanya”. Untuk menyakinkan kepada istrinya Hajar, Ibrahim berdoa kepada
Allah:
!$uZ/§ þÎoTÎ) àMZs3ór& `ÏB ÓÉLÍhè >#uqÎ/ Îöxî Ï ?íöy yYÏã y7ÏF÷t/ ÇP§ysßJø9$# $uZ/u (#qßJÉ)ãÏ9 no4qn=¢Á9$# ö@yèô_$$sù ZoyÏ«øùr& ÆÏiB Ĩ$¨Z9$# üÈqöksE öNÍkös9Î) Nßgø%ãö$#ur z`ÏiB ÏNºtyJ¨W9$# óOßg¯=yès9 tbrãä3ô±o ÇÌÐÈ
Ya Tuhan Kami, sesungguhnya
aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezki mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. QS Ibrahim [14:37]
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Kekuatan luar biasa pada
diri Siti Hajar yang tidak tertandingi oleh wanita-wanita di dunia ini adalah
cinta kasih. Hatinya dipenuhi cinta kepada suami, kepada anak, dan terutama
kepada Tuhannya. Ia teramat mencintai suaminya sehingga meski ditinggalkan
seorang di diri di negeri tak bertuan, tanpa air, tanpa tumbuhan, di kelilingi
bukit-bukit batu hitam, ia masih bisa bertahan hidup dan terus memupuk
cintanya. Cinta kepada anak, mendorongnya berjalan ke sana-sini di padang yang
gersang mencari seteguk air untuk anaknya hingga kakinya penat dan letih. Cinta
kepada Tuhan tak pernah lenyap, dan tak pernah lekang dari dadanya. Justru
kekuatan cinta inilah yang membuatnya tegar dan bersabar. Ia memiliki harapan
yang tak pernah lenyap akan karunia dan kasih sayang Allah kepada dirinya dan
putranya.
Hajar tegar dan bersabar meski harus hidup seorang diri
di padang sunyi, sepi, tidak ada perkampungan/tetangga, jauh dari suami, jauh
dari keramaian, jauh dari kecukupan hidup. Ia harus menjalani kehidupan seperti
itu selama bertahun-tahun hingga Ismail beranjak remaja (+ 17 tahun), Bayangkan,
betapa pedih hati seorang istri ditinggal seorang diri oleh suaminya dalam
keadaan serba kekurangan, tidak pernah dikirimi nafkah, dan tidak dapat kabar
apa pun tentang suaminya, tetapi cintanya tak pernah luntur, ketegarannnya tak
pernah hancur, dan kepasrahannya kepada Tuhan senantiasa hidup dalam jiwanya
yang suci.
Sikap seperti inilah yang
harus kita perhatikan dan kita jadikan teladan dalam kehidupan ini. Perjuangan
wanita mulia inilah yang harus diingat ketika jemaah haji dan umrah melakukan
sai antara Shafa dan Marwa, sehingga mereka dalam melaksanakan ritual penuh
dengan ketulusan dan kepasrahan.
Hidup kita berada di antara
usaha dan harapan. Usaha dan aktivitas adalah kewajiban kita, yang digerakkan
oleh harapan. Namun, hasil dari segala yang kita lakukan dan kita upayakan
bukanlah kita yang menentukan, melainkan Allah Yang Mahakuasa. Apa pun yang
diputuskan dan diberikan oleh Allah, sudah semestinya kita menerimanya dengan rida dan pasrah.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Perhatikanlah, anak ayam yang baru menetas langsung
mencakarkan kakinya ke tanah mencari makanan. Anak ayam itu langsung bekerja
dan berupaya karena itu telah menjadi kewajibannya. Apakah setelah mencakar-cakar
tanah itu akan mendapat makanan atau tidak, itu bukan urusannya, tetapi urusan
Allah Yang Mahakuasa. Kewajibannya adalah mencakar-mencakar mencari makanan.
Kewajiban kita adalah
berusaha menggunakan akal pikiran dan tetap berharap mendapat masa depan yang
lebih baik. Itulah makna ritual sai yang harus kita jadikan landasan untuk
bekerja dan menatap masa depan.
Ketika berjalan menempuh
jarak antara Shafa dan Marwa, Hajar mencari kebutuhan yang paling dasar, yaitu
makanan dan minuman, tidak lebih dari itu. Air adalah sumber kehidupan. Tubuh
kita terdiri atas daging, tulang, urat sarat, darah, dan cairan. Untuk bisa
tetap hidup, kita tidak boleh kekurangan air (akan kena penyakit dehidrasi).
Kehabisan air berarti mati. Air melambangkan kebutuhan material dalam kehidupan
kita. Karena itu, memburu dan mencari materi tidaklah berdosa, bahkan wajib
hukumnya. Namun, menumpuk materi sebanyak-banyak, tanpa mau membagi dengan sesama
yang membutuhkan adalah pengkhiatan kepada Allah. Sebab, Allah telah
memercayakan hartanya-Nya kepada kita bukan untuk ditumpuk, melainkan untuk
dibagikan sehingga nikmat harta itu dirasakan juga kepada sahabat, kerabat,
fakir, dan miskin yang belum kebagian. Apa yang dilakukan Hajar untuk mencari
air bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain, untuk anaknya.
Hajar tetap berusaha dan
berjuang untuk mendapatkan air, Hajar tidak mau diam berpangku menunggu Tuhan
menurunkan rizki dan nikmat seketika dari langit/surga. Hajar menyakini
kebenaran Tuhan pasti datang. Tuhan benar-benar memperlihatkan mukjizat-Nya.
Dia menyatakan kasih-Nya kepada hamba-Nya yang berusaha dan bekerja keras
(sai). Hajar mendapatkan air dari
kekuatan melalui mukjizat hentakan tumit kaki anaknya. Suara bergemuruh air
dari celah-celah pasir yang gersang di bawah batu hitam. Itulah air zam-zam.
Allah
Akbar 3x. Jemaah salat id yang dirahmati Allah.
Kita terdampar ke dunia ini,
tanpa membawa modal apa-apa selain pikiran dan hati nurani. Tetapi, pundak kita
dibebani tanggungjawab. Karena itu, kita harus bekerja keras dan cerdas untuk
memakmurkan dunia, memakmurkan sesama. Kita adalah khalifah, wakil Tuhan di
bumi yang bertanggungjawab penuh kepada-Nya. Untuk itu, hanya ada tiga modal
utama yang dapat kita andalkan adalah cinta kasih, ketegaran, dan kepasrahan
kepada Allah.
Orang
yang bertakwa diberi jalan keluar dari segala
macam problem kehidupan dan diberi cukup rizki yang tidak terduga-duga.
`tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC ÇËÈ çmø%ãötur ô`ÏB ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾ÍnÌøBr& 4 ôs% @yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs%
Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan diberikan baginya jalan keluar (2). Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya dan barangsiapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya, sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)- Nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. QS. al-Talaq [65: 2-3].
Berkat cinta (mahabbah),
ketegaran (sabar), dan kepasrahan (tawakal), akhirnya Hajar menemukan air. Sama
halnya, kita juga akan menemukan Tuhan dan mencapai ruhani setelah menakklukan tujuh
tingkatan nafsu. Ketujuh tingkatan nafsu itu adalah (1) nafsu yang memerintahkan kepada kemaksiatan (al-nafs
al-ammarah bi al-su’), (2) nafsu yang suka menyesali diri (al-nafs al-lawwamah,
(3) nafsu yang tenteram (al-nafs al-muthma’innah, (4) nafsu yang mendapat ilham/inspirasi (al-nafs al-mulhamah), (5)
nafsu yang rida (al-nafs al-radhiyah), (6) nafsu yang di ridai ( al-nafs
al-mardhiyah), dan (7) nafsu yang paripurna (al-nafs al-kamilah). Itulah salah
satu makna yang bisa ditangkap dari tujuh putaran sai yang dilakukan Siti Hajar
hingga ia menemukan air zam-zam.
Seorang mukmin pasti akan
kukuh dalam perjuangannya mengalahkan dan mengendalikan nafsu sehingga terbebas
dari belenggunya dan berada semakin dekat kepada Sang Maha Kekasih (Tuhan,
Allahu Rabbul’alamin).
Tuhan memanggil-manggil orang yang hati nurani bersih dan
suci, sebagaimana dijelas dalam Al-Qur’an :
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ
Wahai jiwa yang tenang (27). Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam jamaah
hamba-hamba-Ku (29). Masuklah ke dalam syurga-Ku (30). QS al-Fajar [89:27-30]
Semoga khutbah ini memberi hikmah dan pelajaran bagi kita
semua untuk direnungkan dan dijadikan dasar hidup yang diliputi cinta kasih,
ketegaran, dan kepasrahan spenuhnya kepada Allah swt.
Akhirnya, marilah kita akhiri dengan memanjatkan doa
kepada Allah swt. ALHAMDULILLAHI
RABBIL’ALAMIN. ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATUHI WA BARAKATUH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar